Senin, 13 Mei 2013

Yang Tak Terlihat

‘Grace. Baik-baik ya.’ pesan Mama dari balik jendela. Aku menutup pintu mobil dan tersenyum padanya. ‘Ya Mama. Jangan khawatir.’

Mama menaikkan kaca jendela. Mobil melaju pergi.

So, here we are.

Dengan ragu aku melangkahkan kaki. Dua setengah bulan kulewatkan studi, karena harus menginap di rumah sakit. Semoga kali ini terakhir, karena sebelumnya sudah berulang kali aku keluar masuk rumah sakit, meski hanya sebentar-sebentar, tak pernah selama ini.

Memasuki gerbang sekolah, aku segera menangkap beberapa pasang mata menatapku dengan terkejut. Oh, rupanya aku sudah menjadi mahluk aneh sekarang. Beberapa murid mulai berbisik-bisik dengan temannya, sambil tetap tak menyembunyikan pandangannya padaku. Aku mengeluh dalam hati, namun tetap melangkah. Berusaha mengabaikan semua pandangan murid yang telah melihatku.

Itu dia yang kucari. Karin. Aku hapal tubuhnya yang tinggi semampai dan rambutnya yang panjang.

‘Hei!’ sapaku sambil menepuk bahunya. Ia berdiri membelakangiku, sedang asyik bicara dengan Vita.

Karin menoleh. Dan terbengong-bengong melihatku. Ada sekitar 5 detik ia menatapku dengan mata  melotot seperti itu. Vitapun menutup mulut dengan tangannya, berusaha menyembunyikan pekikannya meski tetap kudengar jua.

‘Hei! Ini aku, Grace!’ sapaku sambil tertawa. Terpaksa tertawa, karena sungguh hatiku pedih melihat reaksi mereka.

‘Ah! Eh..Grace?’ tanya Karin ragu. Ia menatapku dengan takjub. ‘Eh…sudah sembuh? Wow! Eh..penampilan baru?’ ia masih menatapku tak percaya.

Aku tersenyum. ‘Iya Karin, lebih segar ya?’ kataku mengujinya. Karin mengernyitkan keningnya. Vita kulihat berhasil menguasai keadaan. Namun tangannya kini menggenggam tangan Karin, erat.

‘Halo Grace. Ugh..nice to meet you. Long time no see you..’ katanya pelan.

‘Halo Vit! Gimana nih, gank kita? Ada kabar baru?” kataku, lelah berbasa basi.

Satu sentakam kecil pada tangan Karin. ‘Oh..eh..ngga ada yang baru kok Grace. Eh..sorry yaa..kita masuk kelas dulu.’ Vita menarik lengan Karin. Mereka berbalik pergi menuju kelas sebelah, 8B. Meninggalkanku seorang diri.

Aku mendesah. Sudah kuduga. Penampilan penting adanya, terutama bagi gankku, bekas gankku lebih tepatnya. Saat aku berbalik, sekerumunan teman-temanku di 8A sedang mengamatiku dengan seksama. Tak mengira aku berbalik menghadap mereka, dengan agak panik mereka menyapa.

‘Grace! Sudah sembuh?’

***

Kelasku tak berubah. Jendela dibuka lebar-lebar agar udara pagi dapat masuk. Bagian belakang penuh dengan tempelan kertas-kertas berisi tugas. Bagian depan dua papan tulis bersih sudah terpampang, menunggu Bu Ira, wali kelas kami, datang.

Bedanya, kali ini aku duduk sendiri.

Biasanya mereka berebut duduk di sebelahku. Aku, maskot kelas 8A katanya. Gelar Kartini 2012 pernah kuraih, bersaing dengan para gadis cantik di sekolah ini pada acara Kartinian tahun lalu. Selain penampilanku, prestasi sebagai juara paralel dan sekretaris OSIS cukup mendukung keputusan juri menjadikanku pemenang.

Untuk itulah mereka ingin menjadi temanku. Saling berebut agar bisa sebangku denganku. Ngga cowok ngga cewek. Yang cowok karena berharap bisa jadi pacarku, yang cewek bangga jika punya teman sepertiku.

Namun kali ini tidak.

Aku duduk di tengah, dengan pandangan spesial yang lagi-lagi kudapat. Campuran antara heran, takjub, dan..jijik mungkin. Hatiku terasa pedih. Ditambah lagi dengan dengungan pelan yang muncul dari penjuru kelas. Mereka enak, punya teman untuk bergunjing.

Kemudian pintu terbuka, dan Bu Ira memasuki kelas. Kami serentak berdiri, dan mengucapkan salam ‘Selamat pagi, Buuuu.’

Bu Ira mengangguk, kami lalu duduk. Saat itulah Bu Ira mulai melihatku. Tatapannya juga kaget, namun ia dengan cepat bisa menguasai keadaan.

‘Grace! Senang melihatmu kembali. Sudah beres semua pengobatannya?’ sapanya ramah.

‘Semoga Bu. Masih rawat jalan.’ jawabku berusaha ceria. Ibu, mungkin beberapa hari ke depan ku akan bolos saja. Tak kuat aku menerima perlakuan seperti ini…

‘Syukurlah Grace. Tuhan memberkati. Kau bisa pinjam materi kita selama ini dari temanmu.’ kata Bu Ira sambil tersenyum.

Aku melirik kanan kiriku. Nampaknya mereka berusaha menghindari pandanganku. Mungkin meminjamkan buku padaku juga akan mereka hindari…

***

Saat makan siang di kantin, lebih parah lagi. Kantin kami terdiri dari meja-meja panjang,dengan puluhan kursi plastik di sekitarnya. Mestinya bisa menampung sepuluh murid per meja.

Tapi kini, aku sendiri. Mejaku hanya terisi : aku.

Dan pandangan murid-murid itu, makin terasa. Kali ini seluruh anak kelas dua berkumpul di kantin. Dari 8A hingga 8D. Dan makin terkenallah aku dengan penampilan baruku. Makin susah pula aku menelan makan siangku. Yang bisa kulakukan hanya meminum perlahan-lahan air mineralku, berharap makanan di kerongkongan bisa meluncur ke dalam.

‘Kosong?’ sapa seseorang. Aku menengadah. Joy, temanku di kelas 8A menyapaku sambil membawa bakinya.

 ‘Sure.’ kataku sambil tersenyum. Ah, akhirnya ada juga yang menemani.

Ia mengambil tempat duduk tepat di depanku. Sambil mulai mempersiapkan makan siangnya, aku mengamatinya. Seingatku, aku tak pernah bertegur sapa dengannya. Ya, dulu aku begitu sibuk dengan mereka yang berusaha mendekatiku, sehingga jarang bagiku untuk mengenal yang lain. Joy murid yang biasa-biasa saja. Nilai biasa saja, olahraga biasa juga, wajahpun rata-rata. Hanya kacamata minus menghiasi wajahnya, dan sesekali kacamata itu turun sehingga ia harus menaikkannya.

‘Grace, gimana keadaanmu?’ tanyanya pelan. Ia kini mulai menyantap makan siangnya.

‘Baik kok Joy.’ kataku berusaha ceria. Aku tak mau terlihat lemah di hadapan lainnya.

‘Ehm, sori kalau aku tanya ini. Kamu ngga pakai…wig saja?’ tanyanya lagi.

Aku terdiam. Persis seperti yang Mama sarankan kemarin. ‘Pakailah wig, Grace. Atau topi, jika kau tak mau. Kau akan menarik perhatian mereka, dan Mama khawatir..mereka akan memperlakukanmu dengan berbeda.’ Waktu itu aku menjawab dengan gagah, ‘Ngga usah Ma. Mereka semua teman-temanku. Mereka pasti mau menerima aku. Buat apa aku membohongi teman Ma, dengan menyembunyikan keadaanku. Aku ingin tampil apa adanya Ma.’ Mama hanya bisa mengangkat bahu. Kini kusesali semua rasa percaya diriku. Ternyata selama ini, aku tak pernah punya teman…

‘Ngga ah Joy. Palsu. Biarlah mereka menerimaku apa adanya.’ jawabku pelan. Itupun kalau ada yang mau…

‘Kamu..bisa sembuh?’ tanyanya lagi. Hati-hati, dan seakan bertanya sambil lalu. Tapi aku tahu, mungkin itulah yang ia tuju. Berharap aku sembuh, rambutku pelan-pelan tumbuh, dan aku menjadi gadis tercantik lagi. Dan Joy, yang berusaha jadi temanku saat ini, akan menikmati hasilnya nanti. Jasa persahabatan, eh Joy? Aku akan gagalkan!

‘Sembuh sih mungkin Joy. Tapi rambut, mungkin ngga. Kemoterapi sungguh kuat pengaruhnya Joy, mungkin aku selamanya tak akan punya rambut lagi.’ kataku tegas. Berbohong, tapi tegas. Itulah seni berbohong, membuat orang lain percaya, mengucapkannya dengan yakin.

Joy menatapku lama. Kena lu Joy! Mau apa, heh?! Menyesal, mengajakku bicara?
Kami makan dalam diam sampai istirahat selesai.

***

Mama berhasil membujukku untuk masuk sekolah hari ini. Aku sudah malas sebenarnya, capek melihat mereka memandangku seperti itu. Capek mendapatkan perlakuan berbeda, dari dipuja jadi disia-sia. Capek berusaha tegar padahal keadaannya sungguh membuatku terkapar.

Namun Mama bilang, mereka lama-lama akan terbiasa. Kali ini mereka hanya kaget saja. Ah Mama, kalaupun aku masuk sekarang, lebih karena kasihan melihatnya harus menyemangatiku, padahal Mama harus segera berangkat bekerja. Mencari uang lebih banyak, untuk membiayai pengobatanku.

Dan, inilah aku. Memasuki pintu gerbang sekolah dengan adegan yang berulang. Tatapan, tatapan, dan tatapan. Tak ada jalan lain, selain menyelamatkan diri di kelas. Duduk diam, sampai Bu Ira datang. Biasanya setiap pagi aku sudah sibuk beredar, menyapa teman-temanku yang berada di depan kelas masing-masing. Kini, tidak perlu. Mereka cepat-cepat masuk kelas begitu melihatku. Oh, betapa menjijikkankah aku?

Aku duduk sambil berpura-pura membaca buku. Menghindari tatapan teman-teman yang juga berada di dalam kelas. Tak ada seorang pun yang mengajakku bicara.

Tiba-tiba terdengar keriuhan dari pintu. Joy masuk kelas dengan cengiran lebar teman-temannya di belakangnya. Aku melotot saat melihatnya.

‘Kosong?’ tanyanya. Tanpa menunggu jawabanku, ia meletakkan tasnya di bangku. Aku masih bengong.

‘Joy…eh..rambutmu…’ kataku tercekat.

‘..sama gundulnya denganmu.’ katanya sambil tersenyum. ‘Dan akan tetap begitu, kalau kaupun begitu. Aku akan menggundulinya kembali jika mulai tumbuh lagi.’

Aku terdiam. Rasa menyesal mulai merayap pelan. Mencurigai ia yang tulus ingin berteman. Ia, berusaha menemani dalam kesengsaraan. Bukan dengan kata-kata penghiburan, tapi tindakan. Ia, menjadi sama denganku, berusaha berbagi derita denganku. Atau, sesungguhnya… ini caranya untuk menyemangatiku?

‘Bagus Joy!’ kataku sambil tertawa. ‘Sekarang kita jadi B2, Botak Bersaudara!’

Joy terkekeh. ‘Lebih tepatnya, Si Cantik dan Si Botak!’ katanya sambil tersenyum. Aku tersenyum malu.

Ah Joy, selalu melihat yang tak terlihat…

Sumber: http://fiksi.kompasiana.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar