Selasa, 28 Oktober 2014

Betapa Mudah Menuduh Salah, Sikap Media dan Kita

Setelah pelantikan Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla, mulailah kita menelisik satu persatu latar-belakang dan pribadi para menteri. Maka akan ketemu kita dengan sisi salah, tidak tepat, kurang pas, dan entah istilah apalagi. Sebelumnya ada proses salah sebab pengumuman ditunda. Sesudahnya salah lagi karena terkesan tarik-ulur nama-nama, antara professional dengan orang partai. Dan seterusnya.

Media massa, sampaipun pada media online, rajin dan rinci melaporkan dari kepentingan dan sudut pandang yang beragam. Namun satu hal yang sama, kepentingan pemilik yang berafiliasi pada saatu partai, selain menaikkan oplah bagi media cetak, menaikkan rating dan jumlah iklan bagi media elektronik dan online.

Maka ketemulah kita pada banyak salah. Siapapun presidennya. Tulisan ini menyoroti kebiasaan kita, mungkin sebagian besar atau sebaliknya sebagian kecil kita: betapa mudah menuduh salah! Untuk sampai ke sana mari kita berpikir dan bertindak dilandasi pesimistik!

Pesimistik, Tidak Peduli

Di negeri ini tidak ada sesuatupun yang benar, karena semua salah, sehingga siapapun menjadi serba salah, dan akibatnya memunculkan banyak tindakan, pemikiran dan peristiwa yang salah kaprah!

Pernyataan di atas tentu bukan mengada-ada, sekedar bualan, silat-lidah, atau bahkan fitnah maupun kampanye hitam. Namun ketika pikiran itu terus-menerus kita munculkan, maka sebenarnya kita sedang menambah deret makin panjang jumlah orang yang ikut latah menyalahkan. Padahal, tentu saja, benar dan salah itu relatif. Benar dan salah itu tergantung banyak hal. Salah satunya beda kepentingan, beda sudut pandang. 

Dapat kita rasakan, misalnya perbedaan kepentingan, antara satu orang dengan orang lain, satu kelompok orang dengan kelompok orang lain, dst. Kepentingan itu dapat saling bertentangan, bersilangan, berimpitan,  beriringan, bersebab-akibat, berproses,  dan seterusnya.

Contoh konkrit, di jalan raya. Pengemudi motor, ojeg, angkot, bis kota, kendaraan pribadi, pejalan kaki, penumpang kendaran umum, dan polisi. Berebut cepat, abai keselamatan diri sendiri terlebih orang lain, tidak peduli merugikan orang lain, sedangkan peraturan lalu-lintas dinomor sekiankan di belakang. Dalam banyak kasus diantara mereka  siapa yang paling benar, dan siapa yang paling salah? Jawabnya, tidak ada yang benar, karena semua bisa saja salah, karena kita hanya mengutamakan kepentingannya sendiri!

Menuduh Salah, Terjajah

Untuk membuat daftar salah di negeri ini maka kita bisa meminjam pernyataan/sikap/ tanggapan dari nama-nama beken yang sering malang-melintang di media. Ada yang beridentitas sebagai pakar politik/ekonomi/sosial, politisi, akademisi, pengamat, pelaku, korban, pengacara,  dst. dll.

Malah ada tokoh-tokoh yang muncul setelah ada satu peristiwa yang bernuansa salah: jalan rusak, kecelakaan kendaraan umum-kereta api-pesawat, kebakaran hutan-pasar, tanah longsor, jembatan putus, bentrokan, janji kampanye diingkari.

Tidak ada yang tahu pasti begaimana awal mulanya hingga kita menjadi bangsa yang salah. Mungkin penjajahan yang terlalu lama. Mungkin kita yang tetap sebagai bangsa terjajah. Mungkin kita kelebihan energi untuk ngomong, sampai pun pada ha-hal yang sama sekali tidak perlu.

Betapa Mudah, Melupakan

Ganti menyalahkan orang yang sedang menyalahkan sesuatu, tentu bukan perbuatan yang selalu benar. Mungkin saja orang pertama itu memang sangat kritis, sehingga hal kecil apapun diketahuinya belaka. Bisa jadi ia coba sekedar mengganggu dengan pemikiran yang lain/ berbeda, karena sudut pandang yang berbeda pula. 

Tetapi bukan tidak mungkin ia memang ingin menggagalkan apapun yang dalam proses menuju kebenaran, atau bahkan sudah benar sekalipun.

Di negeri ini semua berjalan baik-baik saja, tidak ada masalah, lancar, dan sukses. Sampai kemudian waktu berlalu, dan sebuah hasil kerja terbukti tidak sesempurna apa yang direncanakan. Maka mulailah timbul upaya untuk menyalahkan, dan bersamaan dengan itu seberapapun banyak kebenaran lain telah dicapai seseorang, akan tidak ada artinya sama sekali. 

Kondisi demikian tidak berhenti di situ, sebab selajutnya kita tidak mendapatkan pelajaran apapun dari masa lalu. Kita tidak memberi catatan khusus. Terlebih adanya ungkapan Jawa: mikul dhuwur mendem jero (meletakkan tinggi-tinggi dan mengubur dalam-dalam peristiwa pada masa lalu). Semua lupa, atau lebih tepat melupakannya!

Berhentilah, Optimistik

Dari paparan di atas ada pesan kecil ingin saya sampaikan, yaitu berhentilah untuk menyalahkan. Menyalahkan diri sendiri, terlebih orang lain. Mari kita sebaliknya, yaitu belajar membenarkan. Mari kita mulai memberi apresiasi, dan menyatakan benar, pada hal-hal kecil apapun yang akan berproses menjadi kebenaran yang lebih besar, banyak, tinggi, dan lebih hakiki! 

Mari kita simpan fasilitas dan kemudahan lain yang kita miliki untuk menyalahkan diri sendiri, orang lain, siapapun, karena dibalik kesalahan itu  -jika pun betul-betul salah- akan menampakkan sisi lain sebagai kebenaran hakiki yang harus kita cari dan perjuangkan menjadi nyata. Dalam bahasa agama, kebenaran manusia adalah proses mendekati apa yang benar menurut hukum dan ketentuan Allah, karena yang maha benar sesungguhnya hanyalah Allah.

Jadi, sekaranglah saatnya kita harus berubah. Saatnya kita menggunakan rumus dan kunci berpikir dan bertindak optimistik. Sebab itu betapapun sebuah keniscayaan…..! Salam kreatif penuh empati.

Sumber: lifestyle.kompasiana.com




Tidak ada komentar:

Posting Komentar