Rabu, 05 Juni 2013

Laut dan Garam

Kau yang memberikan rasa dalam hidupku, senyum itu seperti sebutir butiran garam, memberi rasa untuk hidangan dan perih untuk luka. Dari dirimu aku belajar banyak makna, menghargai sekecil apapun pemberian, mengerti makna dari yang tak bermakna. Mematikan rasa dalam ego, biar rindu tetap diam. Kemarin aku menangis melihatmu, ingin memelukmu, ingin mengenggam erat dirimu. Kau tersenyum semua raga terenyuh berlari memeluk  gelap gema suaramu.

Kau garamku, kini kau telah menjadi laut, sayang. Berwujud, tersentuh, terlihat, lembut namun tak mampu digenggam. Rasa tetap sama, hakikat sama beralih fungsi. Aku merindukanmu, aku tetap memujamu, kasih. Biarkan aku tenggelam dan mati dalam lautan. Ambil ragaku, tak peduli aku tak bernyawa. Atau biarkan aku menjadi mahluk yang hidup didalam lautan itu, walau hanya seekor plankton sekalipun. Sayang, kau berbeda, jauh sekali, kau berubah, banyak, sangat banyak, kau membelai ribuan pasir, menghempas dirimu di tepian pantai yang indah. Aku tak berarti bagimu.

Segala bentuk kesederhanaan yang ada, yang kusukai. Dari gumpalan putih kecil kau sungguh kristal putih asinku. Betapa kini aku sulit mengenalimu. Untuk bicara denganmu sangat sulit, apalagi tertawa seperti sediakala. Aku hanya mampu memandangimu, dari balik jendela hatiku, mengawasimu, melirikmu diam-diam. Laut, aku ingin mandi biar lukaku terasa perih.

Sumber:  http://fiksi.kompasiana.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar