Minggu, 26 Mei 2013

Tak Ada Daging Sapi, Daging Kucing Pun Jadi

“Mas, aku pesan bakso sepiring yaa… Jangan lupa es jeruk!” aku mengacungkan jari telunjuk. Lelaki berkaus putih itu melewati mejaku begitu saja. Dia tidak cuek, kurasa, hanya terlalu sibuk melayani pelanggan. Dan lagipula, dia sudah dengar apa yang kumau.

Berbagai macam rupa berseliweran di dalam warung makan yang temaram itu. Sumpek. Motor-motor diparkir sekenanya di tepi jalan di depan. Di luar sana, pedagang asongan berkoar macam orator. Nah, beginilah suasana Pasar Raya ketika jam makan siang, ketika matahari serasa membakar ubun-ubun.

Aku mengetuk-ngetuk meja dengan jemari, menanti datangnya makanan kesukaanku. Tak peduli panas mebara atau dinginnya air hujan membekukan kaki, aku selalu setia menanti semangkuk bakso kemudian melahapnya dengan rasa bahagia. Aku, entah bagaimana, mencintai bakso semenjak dulu, dahulu kala.

Lelaki tadi datang membawa nampan berisi mangkuk dan gelas berisi es jeruk. Aku lebih memperhatikan mangkuk porselen bergambar ayam jago itu. Uap keluar darinya. Aromanya sedap. Khas.

“Silakan!” lelaki itu tidak begitu ramah, nada bicaranya ketus.

Kupandangi mangkuk berisi bola-bola daging itu. Aku tertegun. Bakso berwarna aneh, hitam-kelabu dan sedikit berbulu.

Lelaki tadi memandangku sebentar. Ia menyeringai lalu tersenyum hambar. Aku tahu persis, senyuman itu mengandung kejahatan dan kebencian. Hal yang paling mengerikan kemudian adalah, ketika aku dapat mendengarnya membatin, “Rasakan itu! Daging kucing  enak toh?” Kemudian ia tertawa.

Aku terbangun. Kejadian bakso daging kucing itu ternyata hanya mimpi…

***

Lian datang ke kampus sekitar jam 10 pagi. Gaya berjalannya seperti biasa, kakinya diseret-seret di atas tanah. “Hei, sudah lama menunggu?” ia mendekatiku yang duduk di bawah pohon ketapang.

“Yaa, aku hampir mati kebosanan di sini. Nih, lanjutkan slide yang sudah kubuat semalam,” kusodrokan laptop kepadanya.

Ia acuh. “Eh, aku punya cerita horor,” wajahnya seram dibuat-buat. “Lupakan dulu soal slide. Ada yang lebih urgen,” ia segera menyadari ketidaknyamananku.

Kulihat mimiknya berubah, “Ceritakan cepat!”

Kemudian mulailah Lian bercerita panjang lebar tentang perjalanannya ke kampus pagi tadi.

Kebiasaan buruk supir angkot adalah, berhenti di suatu jalan yang ramai dalam waktu yang lama sehingga membuat penumpang di dalamnya menggerutu dan mengumpat. Angkot yang ditumpangi Lian pun begitu adanya, berhenti untuk menunggu penumpang di muka Pasar Sentral. Lian memandang ke luar jendela, berharap segera ada calon penumpang yang naik sehingga angkot-nya segera minggat dari situ. Dari arah selatan, tampak lelaki 40-an berambut gondrong sedang mengendarai sepeda dengan santai. Barangkali ia barusan belanja; botol kecap, saos tomat, dan aneka bumbu dapur dijejalkan dalam keranjang di depannya. Tiba-tiba saja Lian berpikir, ia pasti sudah sampai di kampus jika naik sepeda.

Lian terus memandangi lelaki itu dari kejauahan. Laki-laki itu menghentikan kayuhannya di depan sebuah gang. Sepedanya ia sandarkan di bak sampah. Lalu dikeluarkannya karung dari bawah sadelnya. Ia mengendap-endap. Berjingkat-jingkat. Kemudian dengan sigap menangkap seekor kucing yang sedang mengais-ngais sisa makanan dalam tumpukan sampah. Kucing malang itu pun dimasukkannya ke dalam karung.

“Aku tercekat. Dan mual. Siapa sih yang kurang kerjaan dan niat sekali menangkap kucing liar sepulang dari pasar? Pake karung segala…” suara Lian bergetar. Aku mengenalnya, dan kurasa dia sedang gusar. “Kau tau artinya botol-botol kecap dan saus tomat di keranjangnya? Mungkin saja, bakso yang kamu makan setiap hari itu dibuat dari daging kucing liar!”

Mulutku menganga. “Ma-maksudmu… Bapak itu penjual bakso, begitu?”

“Yah, kelihatannya,” Lian tampak yakin. “Lagian, dengan harga daging yang selangit, sangat masuk akal jika mereka mencari alternatif. Dengan begitu mereka tidak harus kelihangan pelanggan,” katanya lagi dengan sungguh-sungguh. “Dan… eh, ternyata bukan hanya aku yang mengamati kelakuan aneh Bapak Gondrong itu, beberapa penumpang di dalam angkot juga. Mereka terkesima. Merinding, jijik. Dan sayangnya, si Bapak tidak sadar kalau dia tengah diamati beberapa pasang mata.”

Sumber: http://lifestyle.kompasiana.com



Tidak ada komentar:

Posting Komentar