Kalau boleh memilih, siapapun pasti berharap dirinya terhindar dari menjadi korban bencana. Bencana dalam bentuk apapun. Apakah bencana banjir, tanah longsor, gunung meletus, gempa bumi, gelombang tsunami, angin puting beliung, dan seterusnya. Siapapun tahu dan menyadari, bahwa bencana bisa menjadi awal petaka yang menyebabkan penderitaan hidup yang berkepanjangan.
Hanya sayang, manusia tidak dalam kapasitas bisa memilih. Jika Allah menghendaki, dimanapun dan kapanpun bencana bisa menimpa siapa saja yang tinggal dibelahan bumi manapun. Siapa yang mengira bahwa Aceh atau Pengandaran akan diterjang air, sedang dua daerah itu tidak dikenal memiliki sungai besar yang berpotensi mendatangkan banjir besar. Tapi Allah mentakdirkan Aceh dan Pengandaran ditimpa gelombang tsunami yang mengikuti terjadinya gempa bumi di dasar laut. Kalaupun tidak dari sumber alam, bencana itu bisa Allah takdirkan berasal dari jenis yang lain. Fenomenanya bisa kita saksikan pada jatuhnya pesawat terbang atau terbakar dan tenggelamnya kapal laut. Atau dalam bentuk lain seperti kebakaran.
Kalaupun bencana selalu identik dengan penderitaan hidup, bagi orang-orang yang mau membuka mata hatinya, orang-orang yang meyakini bahwa segala sesuatu terjadi dengan takdir Allah, maka bencana dalam bentuk apapun pastilah menghadirkan banyak pelajaran dan hikmah. Hikmah yang bisa menjadi pengantar terbukanya kepahaman dan kesadaran akan eksistensi diri dan kehidupannya serta segala kepemilikannya. Contohnya dapat kita temui pada salah seorang korban banjir Jakarta.
Seorang korban banjir Jakarta adalah orang kaya yang tinggal di rumah mewah dengan segala perabotan mewahnya. Tidak ketinggalan mobil mewah menghiasi garasi mobilnya. Mobil yang setia mengantarkan dirinya kemana-mana, menjadi lambang citra dirinya yang masuk kategori strata sosial kelas atas. Saat banjir menenggelamkan rumah dan mobilnya, terlontarlah hikmah lisannya : "Harta yang selama ini aku bangga-banggakan, ternyata tidak bisa memberikan pertolongan apa-apa. Semuanya tidak berguna seperti tidak memiliki apa-apa."
Terlontarnya hikmah dari lisan korban banjir Jakarta itu sesungguhnya tidak mengherankan. Manusia itu jika gagal menempatkan harta pada proporsinya dan gagal memposisikan harta pada tempatnya dalam kehidupannya, pastilah ia salah dalam mempersepsi diri dan hartanya. Kemudian akan timbul dalam hati dan pikirannya, bahwa harta itu segala-galanya. Ia mengira dengan harta semua akan terselesaikan, terbeli dan tercukupi. Seperti itulah watak manusia yang memang cenderung melampaui batas : "Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas. Karena dia melihat dirinya serba cukup." (QS: al-Alaq : 6-8)
Siapapun diantara kita hendaknya menyadari, bahwa manusia itu sesungguhnya sangat rapuh jiwanya jika berhubungan dengan harta. Dalam prakteknya, harta itu sangat mudah menggelincirkan manusia ke dalam kubangan kemaksiatan dan kezaliman. Jika tanpa rahmat Allah, manusia akan berat beramal sholeh dengan harta yang dimilikinya. Bahkan sekedar mengeluarkan hak-hak fakir miskin atau kaum du'afa lainnya, yang telah ditetapkan kewajibannya oleh Allah, seperti zakat infak dan sodaqoh, tidak jarang yang berat melakukannya. Sebaliknya jika mengeluarkan uang untuk keperluan membiayai kemaksiatan, boleh jadi merasa ringan seringan hembusan angin.
Bila manusia banyak lalainya dari mengikuti petunjuk Allah saat dirinya lapang, maka berhati-hatilah. Boleh jadi Allah akan membuka segala kemudahan dalam hidupnya. Usahanya, karirnya, hartanya, dan semua prestasi dunianya dimudahka berada dalam genggamannya. Segala kesenangan hidup dunia dibuka lebar-lebar untuk dinikmati sepuas-puasnya. Jika yang demikian itu terjadi dalam diri siapapun, maka sudah sangat dekat saatnya untuk menuai siksa yang akan menjadikan dirinya berputus asa. : "Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka. Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa. (QS: al An'am :44)
Kini, ketika kita tahu seperti itu, tinggal diri ini bercermin menatap nurani dan akhlak diri. Apakah kelapangan hidup telah melalaikan diri dari mengikuti petunjuk-Nya? Jika benar, masih ada waktu untuk segera mengoreksi diri untuk kembali ke jalan-Nya. Atau kelapangan hidup mengantarkan diri menjadi hamba yang selalu menyempurnakan ibadah dan amal-amal sholih lainnya?. Jika itu yang terjadi, teruslah istiqomah hingga Allah memanggil kita kembali menghadap-Nya.
Semoga Allah senantiasa merahmati kita semua beserta keluarga sehingga kita termasuk kedalam golongan orang-orang yang beruntung. Aamiin...
Sumber : Nurul Hayat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar