Kau yang memberikan rasa dalam hidupku, senyum itu
seperti sebutir butiran garam, memberi rasa untuk hidangan dan perih
untuk luka. Dari dirimu aku belajar banyak makna, menghargai sekecil
apapun pemberian, mengerti makna dari yang tak bermakna. Mematikan rasa
dalam ego, biar rindu tetap diam. Kemarin aku menangis melihatmu, ingin
memelukmu, ingin mengenggam erat dirimu. Kau tersenyum semua raga
terenyuh berlari memeluk gelap gema suaramu.
Kau garamku, kini kau telah menjadi laut, sayang.
Berwujud, tersentuh, terlihat, lembut namun tak mampu digenggam. Rasa
tetap sama, hakikat sama beralih fungsi. Aku merindukanmu, aku tetap
memujamu, kasih. Biarkan aku tenggelam dan mati dalam lautan. Ambil
ragaku, tak peduli aku tak bernyawa. Atau biarkan aku menjadi mahluk
yang hidup didalam lautan itu, walau hanya seekor plankton sekalipun.
Sayang, kau berbeda, jauh sekali, kau berubah, banyak, sangat banyak,
kau membelai ribuan pasir, menghempas dirimu di tepian pantai yang
indah. Aku tak berarti bagimu.
Segala bentuk kesederhanaan yang ada, yang kusukai.
Dari gumpalan putih kecil kau sungguh kristal putih asinku. Betapa kini
aku sulit mengenalimu. Untuk bicara denganmu sangat sulit, apalagi
tertawa seperti sediakala. Aku hanya mampu memandangimu, dari balik
jendela hatiku, mengawasimu, melirikmu diam-diam. Laut, aku ingin mandi
biar lukaku terasa perih.
Sumber: http://fiksi.kompasiana.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar