Media massa, sampaipun pada media online, rajin dan rinci melaporkan dari kepentingan dan sudut pandang yang beragam. Namun satu hal yang sama, kepentingan pemilik yang berafiliasi pada saatu partai, selain menaikkan oplah bagi media cetak, menaikkan rating dan jumlah iklan bagi media elektronik dan online.
Maka ketemulah kita pada banyak salah.
Siapapun presidennya. Tulisan ini menyoroti kebiasaan kita, mungkin
sebagian besar atau sebaliknya sebagian kecil kita: betapa mudah menuduh
salah! Untuk sampai ke sana mari kita berpikir dan bertindak dilandasi
pesimistik!
Pesimistik, Tidak Peduli
Di negeri ini tidak ada sesuatupun yang
benar, karena semua salah, sehingga siapapun menjadi serba salah, dan
akibatnya memunculkan banyak tindakan, pemikiran dan peristiwa yang
salah kaprah!
Pernyataan di atas tentu bukan mengada-ada, sekedar bualan,
silat-lidah, atau bahkan fitnah maupun kampanye hitam. Namun ketika
pikiran itu terus-menerus kita munculkan, maka sebenarnya kita sedang
menambah deret makin panjang jumlah orang yang ikut latah menyalahkan.
Padahal, tentu saja, benar dan salah itu relatif. Benar dan salah itu
tergantung banyak hal. Salah satunya beda kepentingan, beda sudut
pandang.
Dapat kita rasakan, misalnya perbedaan kepentingan, antara satu
orang dengan orang lain, satu kelompok orang dengan kelompok orang lain,
dst. Kepentingan itu dapat saling bertentangan, bersilangan,
berimpitan, beriringan, bersebab-akibat, berproses, dan seterusnya.
Contoh konkrit, di jalan raya. Pengemudi
motor, ojeg, angkot, bis kota, kendaraan pribadi, pejalan kaki,
penumpang kendaran umum, dan polisi. Berebut cepat, abai keselamatan
diri sendiri terlebih orang lain, tidak peduli merugikan orang lain,
sedangkan peraturan lalu-lintas dinomor sekiankan di belakang. Dalam
banyak kasus diantara mereka siapa yang paling benar, dan siapa yang
paling salah? Jawabnya, tidak ada yang benar, karena semua bisa saja
salah, karena kita hanya mengutamakan kepentingannya sendiri!
Menuduh Salah, Terjajah
Untuk membuat daftar salah di negeri ini maka
kita bisa meminjam pernyataan/sikap/ tanggapan dari nama-nama beken
yang sering malang-melintang di media. Ada yang beridentitas sebagai
pakar politik/ekonomi/sosial, politisi, akademisi, pengamat, pelaku,
korban, pengacara, dst. dll.
Malah ada tokoh-tokoh yang muncul setelah ada
satu peristiwa yang bernuansa salah: jalan rusak, kecelakaan kendaraan
umum-kereta api-pesawat, kebakaran hutan-pasar, tanah longsor, jembatan
putus, bentrokan, janji kampanye diingkari.
Tidak ada yang tahu pasti begaimana awal
mulanya hingga kita menjadi bangsa yang salah. Mungkin penjajahan yang
terlalu lama. Mungkin kita yang tetap sebagai bangsa terjajah. Mungkin
kita kelebihan energi untuk ngomong, sampai pun pada ha-hal yang sama
sekali tidak perlu.
Betapa Mudah, Melupakan
Ganti menyalahkan orang yang sedang
menyalahkan sesuatu, tentu bukan perbuatan yang selalu benar. Mungkin
saja orang pertama itu memang sangat kritis, sehingga hal kecil apapun
diketahuinya belaka. Bisa jadi ia coba sekedar mengganggu dengan
pemikiran yang lain/ berbeda, karena sudut pandang yang berbeda pula.
Tetapi bukan tidak mungkin ia memang ingin
menggagalkan apapun yang dalam proses menuju kebenaran, atau bahkan
sudah benar sekalipun.
Di negeri ini semua berjalan baik-baik saja,
tidak ada masalah, lancar, dan sukses. Sampai kemudian waktu berlalu,
dan sebuah hasil kerja terbukti tidak sesempurna apa yang direncanakan.
Maka mulailah timbul upaya untuk menyalahkan, dan bersamaan dengan itu
seberapapun banyak kebenaran lain telah dicapai seseorang, akan tidak
ada artinya sama sekali.
Kondisi demikian tidak berhenti di situ,
sebab selajutnya kita tidak mendapatkan pelajaran apapun dari masa lalu.
Kita tidak memberi catatan khusus. Terlebih adanya ungkapan Jawa: mikul
dhuwur mendem jero (meletakkan tinggi-tinggi dan mengubur dalam-dalam
peristiwa pada masa lalu). Semua lupa, atau lebih tepat melupakannya!
Berhentilah, Optimistik
Dari paparan di atas ada pesan kecil ingin
saya sampaikan, yaitu berhentilah untuk menyalahkan. Menyalahkan diri
sendiri, terlebih orang lain. Mari kita sebaliknya, yaitu belajar
membenarkan. Mari kita mulai memberi apresiasi, dan menyatakan benar,
pada hal-hal kecil apapun yang akan berproses menjadi kebenaran yang
lebih besar, banyak, tinggi, dan lebih hakiki!
Mari kita simpan fasilitas dan kemudahan lain
yang kita miliki untuk menyalahkan diri sendiri, orang lain, siapapun,
karena dibalik kesalahan itu -jika pun betul-betul salah- akan
menampakkan sisi lain sebagai kebenaran hakiki yang harus kita cari dan
perjuangkan menjadi nyata. Dalam bahasa agama, kebenaran manusia adalah
proses mendekati apa yang benar menurut hukum dan ketentuan Allah,
karena yang maha benar sesungguhnya hanyalah Allah.
Jadi, sekaranglah saatnya kita harus berubah.
Saatnya kita menggunakan rumus dan kunci berpikir dan bertindak
optimistik. Sebab itu betapapun sebuah keniscayaan…..! Salam kreatif
penuh empati.
Sumber: lifestyle.kompasiana.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar